Beragama Tanpa Simbol


Kita hidup di zaman dimana simbol menjadi identitas atas segala sesuatu. Bahkan, kesakralan simbol itu sendiri melebihi substansi yang mengikat di dalam nilai inti "core value" sebuah simbol. Mari kita ambil contoh, Agama. Agama memuat nilai universal, keadilan, keseimbangan, ketertiban dan semua bentuk kebaikan yang terbentuk sepanjang diskursus sejarah manusia. Adapun nilai substantif dari ajaran agama adalah terciptanya pribadi yang tunduk kepada Tuhan, mentaati perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Seperti, larangan Tuhan untuk tidak merusak bumi dan melanggar hukum alam semesta.

Tapi, tidak semua orang beragama memahami konsep agamanya. Mereka begitu terlena dengan kemegahan simbol-simbol yang hanya menjadi aksesoris, pelengkap dari ajaran agamanya. Pada tulisan kali ini, Saya akan menjelaskan apakah kita sebagai orang beriman bisa beragama tanpa simbol?  Bagaimana beragama tanpa simbol itu?


Banyak orang yang tertipu karena terlalu fanatik terhadap  simbol. Layaknya orang yang ingin berjihad di jalan Tuhan-Nya, tapi tidak Dia tidak mengerti harus berjihad untuk apa. Yang ada di benak dan pikirannya, hanyalah angan-angan semu untuk menciptakan keadilan versi mereka sendiri . Padahal, apa yang mereka sedang perjuangkan sangat jauh dari nilai-nilai kemanusian. Aksi Terorisme atas nama agama misalnya, mereka sebenarnya ingin mewujudkan keadilan di muka bumi ini, tetapi keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan yang dibentuk melalui ideologi radikal yang menghancurkan.


Karena itu, walaupun aksi mereka bisa menghancurkan diri sendiri, mereka tak peduli dan tetap melancarkan aksi dan ambisinya demi sebuah keadilan yang pada akhirnya merusak kedamaian hidup orang lain.

Sangat disayangkan, walaupun serangkaian aksi berdarah telah terjadi dimana-mana, Tapi masih ada saja, orang yang tidak peduli, bahkan terkesan mengamini dan membela para penganut Ideologi Radikal.

Banyak bukti yang bisa kita lihat di media sosial. Ada yang menganggap aksi-aksi radikal itu adalah pengalihan isu, permainan penguasa dan hanya menyudutkan kelompok agama tertentu. Bagi Saya, orang-orang seperti ini adalah orang yang beragama dengan simbol. Atau bisa dikatakan mereka beragama tanpa akal sehat, overdosis terhadap ajaran agama yang belum dipahami secara komprehensif. Padahal, tidak ada ajaran agama  yang bersifat menghancurkan.

Agama apapun mendoktrin umatnya untuk berbuat kebaikan. Walaupun setiap agama, jika kita pandang melalui jalur teologis terdapat perbedaan konsep ketuhanan, tapi ketika agama di bawa ke dalam ranah kemanusiaan, segala perbedaan tidak menjadi persoalan, karena yang terpenting adalah terwujudnya umat yang humanis dan cinta  perdamaian.

Apakah mutlak orang yang menjalani praktik penyembahan adalah orang yang bernalar dengan benar? Bagi Saya, tidak semua orang yang menjalani laku peribadatan adalah orang yang bisa bernalar dengan baik. Proses bernalar sangat berbeda dengan beribadah, bernalar adalah upaya untuk membentuk pola pikir yang baik, teratur dan dinamis terhadap segala sesuatu. Sedangkan peribadatan adalah praktik yang bersandarkan doktrin ajaran agama. Karena itu, sangat mungkin ada sekelompok orang yang semangat melakukan penyembahan tapi disatu sisi juga, menebar ancaman, menganggap orang yang berbeda musuh yang harus dilumpuhkan dan dibinasakan. Inilah sebenarnya golongan-golongan yang beragama dengan semangat simbol. Simbol yang menumpulkan akal sehat dan kematangan dalam berpikir.

Untuk mengakhiri tulisan ini, Saya berpendapat bahwa kita bisa beragama tanpa simbol. Tidak perlu kita hidup dalam kemegahan simbol-simbol agama. Apapun agama itu, jika pemeluknya sudah overdosis terhadap simbol tanpa memikirkan substansi ajaran agama.

Akan muncul sekelompok orang tempremental dalam membela simbol agamanya. Kadang kala pembelaan itu diluar batas akal sehat, dan bisa merusak citra agama mereka sendiri. Yaitu, ketika mereka membelanya dengan amarah, ancaman, presekusi dan segala tindakan merusak dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Mari kita hidup rukun, saling menghargai sesama, jika memang kita tidak bersaudara secara keyakinan tapi kita bersaudara dalam kemanusiaan. Jangan sampai rasa superioritas karena agama yang kita anut membutakan mata hati kita untuk tidak menghargai mereka yang berbeda.

Dan perlu sama-sama kita pahami, bahwa yang berhak menentukan orang yang paling mendapat hidayah dan orang yang sesat adalah Allah Tuhan yang maha kuasa. Kita hanya manusia yang menghamba kepada Tuhan . Kita tidak memiliki otoritas untuk menentukan orang lain akan kesyurga atau neraka. Yang hanya bisa kita lakukan adalah menyembah dan berharap kepada Tuhan agar memberi kita rahmat sebagai "tool" atau alat untuk membuka pintu syurga. Amin...

Komentar

Postingan Populer