Hukum Musik Menurut Muhamadiyah
Menurut Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah, hukum musik itu netral (mubah) secara asal, tidak mutlak haram atau halal; hukumnya bergantung pada konteks, isi, dan dampaknya, bisa menjadi sunnah jika mengajak kebaikan, makruh jika hanya hiburan biasa, atau haram jika mengandung unsur maksiat seperti porno atau pornografi, atau mengajak pada keburukan. Pendekatan ini fleksibel, tidak mengharamkan secara mutlak, dan mengembalikan pada kaidah maslahat (kemaslahatan) serta kebiasaan (urf) selama tidak bertentangan syariat, berbeda dengan pandangan kelompok tertentu yang cenderung mengharamkan secara mutlak.
Rangkuman Hukum Musik Menurut Muhammadiyah:
Sunnah: Jika menarik pada keutamaan, kebaikan, dan amal sholeh (misalnya, nasyid Islami yang positif).
Mubah/Boleh: Jika sekadar hiburan biasa tanpa dampak negatif atau positif yang signifikan (seperti dalam konteks olahraga, rekreasi).
Makruh: Jika hanya untuk main-main saja tanpa tujuan yang jelas (hukumnya bisa mendekati makruh).
Haram: Jika syairnya berisi keburukan, pornografi, merangsang birahi, atau mendorong pada kemaksiatan.
Dasar Pemikiran Muhammadiyah:
Fleksibilitas (Tidak Mutlak): Muhammadiyah tidak menemukan dalil qath'i (pasti) yang secara tegas mengharamkan musik secara mutlak, sehingga dikembalikan pada kaidah fikih umum.
Ilat (Sebab): Hukumnya bergantung pada illah (sebab) dan dampaknya, bukan pada alat musik atau nyanyian itu sendiri.
Pendekatan Sejarah: Tokoh pendiri seperti KH Ahmad Dahlan menggunakan musik (bahkan biola) untuk pendidikan, menunjukkan adanya penggunaan musik yang positif dalam sejarah Muhammadiyah.
Intinya: Muhammadiyah mengambil posisi di tengah, tidak kaku seperti kelompok tertentu yang mengharamkan, tetapi juga tidak permisif; musik dinilai berdasarkan isi dan tujuan pemanfaatannya, mengedepankan kemaslahatan umat.
Komentar