Ketika Cahaya Hati Meredup


Manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan hati. Dengan akal manusia mampu melakukan sejumlah observasi, penelitian dan eksprimen teknologi demi kemajuan peradaban manusia. Tapi hati tidaklah demikian, sesuatu yang baik menurut akal belum tentu baik menurut hati. Kadang ada konflik antara akal dan hati jika akal terlalu mendominasi dan tidak melibatkan hati dalam berkomunikasi pada jiwa manusia. Sebagai contoh, Dalam beribadah misalnya, ketika seseorang salat terlalu cepat tanpa memikirkan kekhusyukan, Secara akal salat itu sah, tapi hati saat itu memberontak dengan tindakan yang kita lakukan. Hati ingin salat harus berlandaskan kekhusyukan kepada sang khalik.Karena begitulah seharusnya.

Setiap manusia memiliki cahaya dalam hatinya. Cahaya ini bersumber dari hati yang suci.  Semakin bersih hati kita, semakin terang pancaran cahayanya. Tapi, jika hati  kita sudah ternoda dan berlumur dosa, berkuranglah cahaya yang menyinari relung hati kita. Karena itu, menjaga hati adalah sebuah keniscayaan dalam hidup kita, jangan sampai hati yang merupakan karunia terbesar Tuhan kepada kita berkurang sensitifitasnya, hanya karena kita melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan suara hati secara terus-menerus. " Mengapa ada orang jahat di dunia ini? " Mengapa banyak orang jahat yang masuk penjara tapi setelah mereka bebas, mereka tidak berubah dan masih tetap dalam aksi kejahatannya?" Mengapa? karena hati yang kotor, penuh dendam dan kebencian tidak akan mudah untuk diobati. Bisa karena terbiasa, biasa karena sudah sering melakukannya. Begitulah mengapa banyak orang jahat yang tidak kunjung insaf dan menyesali perbuatan-perbuatannya.

Lantas, Apa yang harus kita lakukan jika cahaya hati meredup? Mendekatlah kepada Allah,  bukalah diri kita untuk menerima energi illahi melalui dzikir, taffakur dan shalawat nabi.  Bacalah Al-Quran, pahami maknanya rasakan setiap ayat yang dibaca mengalir tenang ke dalam hatimu.  Jika kita tak memahami artinya, cukuplah membacanya dengan "positive thinking"  terhadap semua ayat yang kita baca. Ada banyak ayat-ayat offensif sebagai wujud  dari ekspresi sejarah dan konteks dalam masyarakat di masa lalu. Tetaplah buka hati kita, biarkan kitab suci mendidik kita agar senantiasa menjadi pribadi yang menggunakan akal sehat  dan hati nurani dimanapun kita berada. Berdzikirlah karena hanya dengan dzikir, terwujudlah ketenangan hati dan jiwa.

Mungkin kita sudah membiasakan diri dengan mengingat Allah melalui mekanisme dzikir dan taffakur. Tapi, itu saja tidak cukup. Perlu bagi kita untuk menghidupkan dzikir dan taffakur itu dalam alam realitas kita sehari-hari. Bagaimana caranya? Jadilah orang yang berakhlak, Tidak menyombongkan diri dan merasa bahwa diri kita yang paling hebat dan suci. Jangan sampai kesombongan kita menghancurkan hidup kita, apa lagi sampai membuat kita lupa bahwa kita masih menghamba kepada Allah SWT.

Robby Andoyo

Komentar

Postingan Populer