Ada Langit Di Rumahku (Merenung Sampai Mati - Prie GS)

Karena rumahku kecil maka hanya ada satu cara jika harus menambah ruang: meninggikannya. Tetapi karena meninggikan rumah tidak murah, maka ia bisa terhenti ketika pembangunan baru jalan setengah. Setengah pembangunan inilah yang akan aku ceritakan karena ia cuma meninggalkan hamparan lantai beton tanpa bangunan. Maka jadilah beton sebagai salah satu atap rumahku. Dan di atas beton ini adalah ruang terbuka dengan langit sendiri sebagai atapnya.


Semula aku mengira rumahku adalah jenis rumah terbengkalai korban salah perencanaan. Bukan... bukan salah rencana, melainkan rumah ini memang adalah produk tanpa rencana. Semula ada juga bermacam-macam kejengkelan, perasana marah dan menyesalan. Bukan datang dari diriku sendiri, melainkan dari orang-orang yang datang. Mereka bisa saudara dekat, bisa saudara jauh, bisa sekadar tetangga dan teman.

Tapi siapapun mereka, senada saja komentarnya. ‘'Lengkap sekali kekacauan di rumahmu ini'' begitu biasa komentar yang saya dengar. Lumayan jika komentar itu cuma berhenti hingga di sini. Aku sering tegang menunggu komentar selanjutnya, karena makin panjang, cuma makin menyinggung perasaan. Misalnya; ‘'Ini pasti karena engkau membangun rumah sekaligus engkau tempati. Jadi ini arsitektur gerilya!'' kata pihak lain biasanya dengan tawa mereka. Tak jarang mereka mengomentari sambil geli pada imajinasinya sendiri. Semakin mereka gembira, semakin tersinggung hati saya.

Padahal komentar itu bisa diteruskan lagi; ‘'Tidak apa-apa sebetulnya membangun rumah sambil tetap dinempati. Asal... tetap terencana. Tetapi ini pasti rumah hasil rencana pembangunan lima tahunan alias repelita, yang tidak nyambung. Setiap lima tahun berubah rencana tergantung duit yang ada.'' Kata yang lain lagi. Kata-kata iu semakin menyakitkan karena semakin cocok dengan kenyataan. Tegasnya, rumah ini menjadi kacau begini, pasti karena kemiskinanku. Karena cuma bisa jengkel tapi tak berdaya, maka semua akhirnya aku iyakan saja.

Malah kejengkelan kuteruskan saja, seluruh rumahku, akhirnya kunikmati apa adanya lengkap dengan semua kekacauannya, termasuk lantai beton yang beratap angkasa raya itu. Malah kini aku sedang bertaruh dengan diriku senidri, kalaupun uang sudah ada, akankah aku dirikan bangunan di atas lantai beton ini, seperti yang aku bayangkan semula. Rasanya tidak! Aku mencintai hasil pembangunan setengah jalan ini karena sebuah sensasi yang tak terduga.

Pertama setelah kuteliti, di seantero kampung, rasanya cuma rumahku yang memiliki atap langit seperti itu. Selebihnya adalah ruang-ruang yang seluruhnya tertutup. Kalaupun ada rumah yang meninggi, mereka langsung mengatapinya. Sudah berumah kecil, tertutup pula, jadi betapa sumpeknya. Mak setiap kali aku sumpek, aku cukup menuju ke lantai beton beratap langit ini. Hasilnya luar biasa. Dari sebuah kamar yang sumpek, aku langsung ketemu langit yang terhampar begitu luasnya!

Aku segera melihat kaki langit, horison-horison yang jauh serta beberapa gunung yang ada di tanah Jawa di pagi dan sore hari. Jika malam hari, dan aku berebahan di lantai beton itu, bintang-bintang segera berserak di atasku. Indah sekali. Dan kepada bintang-gemintang, aku selalu mencari komposisi yang diajarkan oleh ibuku dulu ketika malam-malam kami bersantai di halaman.

Sebuah bintang yang letaknya sedemikan rupa, sehingga bentuknya menyerupai bajak petani. ‘'Jika ia telah condong ke barat, pertanda malam sedang bersiap pagi,'' begitu kata ibu. Jika bulan puasa tiba, dan kami belum punya weker sebagai penanda, kami cukup keluar rumah, untuk melihat kedudukan bintang ini. Jika letaknya sudah bergeser ke ufuk barat, pertanda jadwal makan sahur sudah tiba. Bintang ‘'bajak petani''itu hingga sekarang masih menjadi bintang idolaku.

Jika aku sedang kesal dengan istriku, dengan kenakalan anak-anak, atau penat dengan pekerjaan, lantai beton itu menjadi obatku. Aku cukup berdiri di atasnya, menatap ruang terbuka, melihat bukit-bukit yang jauh di siang hari, dan melihat bintang-gemintang di malam hari, maka luruhlah kekesalan hatiku. Karena setelahnya, baru aku merasa bahwa kejengkelan pada istriku itu, ternyata adalah kejengkelan pada diriku sendiri, bahwa kemarahan pada anak-anakku tak lebih dari kemarahan pada diriku sendiri. Selanjutnya, anak-anak dan istri, kembali menjadi orang-orang menyenangkan di mataku.

Jadi rumahku dengan lantai beton beratap langit itu adalah harta karun yang tak ternilai harganya। Di atasnya memuat banyak keindahan, efek terapi dan akses tak terbatas menuju langi luas. Rumahku yang sempit menjadi luas karena bangunan salah rencana ini. Di rumahku ada langit, aset yang aku sulit menaksir nilainya!

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone







Komentar

Postingan Populer