Paku di Kepala Itu ..... (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

Seorang ibu memaku kepala anaknya sendiri. Adakah ia ibu yang kejam? Tidak. Karena ia juga memaku kepalanya sendiri. Jika pun ia dianggap kejam, ia juga pasti kejam tidak cuma kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinnya. Kepada seseorang yang tengah kehilangan kendali atas diri sendiri, ia tak bisa ditutut untuk punya kendali atas orang lain, walau ia adalah anaknya sendiri.
 
 
Sambil kepala yang berpaku itu ditayangkan televisi, penyiar menyebut penyebab itu semua adalah tekanan ekonomi. Walau mungkin, saya tidak mudah mempercayai komentar ini. Izinkan saya meduga lebih jauh lagi. Dugaan saya ini berawal dari fakta bahwa kemiskinan bisa saja membuat seseorang menjadi gila. Tetapi faktanya tidak semua orang miskin otomatis gila. Sebagian di antaranya baik-baik saja mentalnya, sebagian di antaranya malah tetap berwatak mulia.

Ada orang miskin yang menemukan dompet dan berkeras mengembalikan tanpa sedikitpun menyentuh isinya. Ada pedagang kecil yang terancam bangkrut tetapi ringan saja memberi uang pada orang terlantar yang kebingungan untuk pulang. Ada tukang sepatu keliling yang pantang menilep uang kembalian meskipun pelanggan telah melupakan. Panjang daftar orang-orang kecil yang tidak cuma tetap kuat tetapi juga mulia ini.

Bahwa miskin itu berat, iya. Tetapi bahwa menjadi miskin otomatis harus menjadi kalap, tidak! Maka meskipun kemiskinan itu berat, ia tak otomasti harus menjadi sumber kekalapan. Dari mana orang miskin bisa menemukan kekuatannya? Pasti bukan dari duitnya, melainkan harus dari prinsip-prinsip hidupnya. Tahu diri, adalah prinsip yang pertama. Miskin tapi merokok, naa ini tak tahu diri.

Bapak dari anak yang dipaku itu adalah seorang satpam. Tak ada yang keliru dari profesi satpam. Ini pekerjaan terhormat. Bahwa kemungkinan penghasilnya kurang, bisa saja. Benar, gaji satpam bisa jadi tidak mencukupi. Tetapi jika gaji kecil adalah alasan untuk boleh memaku kepala anak sendiri, kepala anak-anak satpam di Indonesia akan berpaku seluruhnya. Nyatanya tidak. Banyak kehidupan satpam, meskipun sederhana tetapi baik-baik saja. Mereka tetap berteman gelak tawa bersama keluarga. Jadi meskipun miskin itu berat, tetapi untuk tetap kuat, adalah sebuah kemungkinan. Maka menjadi kuat dan lemah itu, adalah pilihan.

Persoalnnya, banyak orang yang memang memilih menjadi lemah tanpa sengaja. Misalnya, sudah tahu cekak penghasilan tapi besar keinginan. Sudah ngerti menganggur suka berjudi. Sudah tahu miskin masih suka memukuli istri. Saya dengar, satpam yang satu ini juga suka main pukul kepada istrinya. Jadi bisa dibayangkan betapa berat derita wanita itu. Bersuamikan pria miskin sendiri sudah kemalangan, apalagi tambah pula dipukuli, jadi ganda sengsaranya. Miskin tapi mesra, itu bisa! Cuma tidak mereka lakukan.

Maka tengoklah orang-orang sederhana yang memilih bahagia itu. Para satpam yang tetap tenteram hidupnya itu. Mereka ada dan jelas di depan mata kita. Karena sudah memilih, mereka pasti sadar membayar harganya. Gajinya yang tak seberapa pasti hanya untuk membiayai yang perlu-perlu saja. Bahkan jika untuk membiayai kekeliruan, seorang yang berduit pun bisa dipersalahkan, apalagi bagi yang cekak penghasilan. Sudah miskin, ngawur pula. Apakah ada? Banyak sekali. Kemiskinan banyak dipersalahkan padahal biang masalah itu bernama kelakuan!
 

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone
 

Komentar

Postingan Populer