Semua Benar, Semua Salah (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

Saya takjub pada perilaku seorang gubenur yang mengaku amat jarang memakai sopir pribadi ini. ''Dengan sopir saya jadi seperti orang lumpuh,'' katanya. Sikap gubernur ini saya kagumi sekaligus menyakiti saya. Jika perilaku gubernur itu serasa menyindir, maka pernyataannnya itu malah sudah menampar saya.


Karena apa? Untuk mempekerjakan sopir pribadi, saya tidak perlu menunggu jadi gubenrur, dan tak perlu lebih dulu menjadi orang kaya. Sopir dan mobil saya pernah sama-sama tua-tuanya. Tidak pantas sebetulnya dengan mobil setua itu bersopir pribadi. Malu juga saya mestinya.

Tetapi jika keputusan bersopir itu saya batalkan, berarti akan ada begitu banyak waktu saya buang untuk mencuci mobil yang sudah tua itu, mengantarnya ke bengkel setiap kali, karena semakin tua sebuah mobil akan semakin akrap ia dengan bengkel. Merawat mobli tua, rasanya nyaris setara dengan merawat bayi.

Jelas, hidup saya pasti cuma akan habis dirampas benda ini. Saya tidak sedang menganggap pekerjaan mencuci dan mengelap mobil itu hina. Melainkan karena saya sedang mengawasi dengan keras desain mental saya sendiri; adakah pekerjaan ini saya ambil lebih karena saya gagal membedakan mana yang penting mana yang mendesak.

Begitu sayangnya saya kepada mobil tua itu, sehingga saya bisa menunda kesempatan saya bercanda dengan keluarga, misalnya. Menemani anak-anak saya tidur, saya pikir jauh lebih menggembirakan katimbang mencuci mobil malam-malam akibat hujan seharian. Tapi saya pasti juga tidak tega menganiaya mobil tua yang sudah berjasa itu. Maka harus ada orang yang menjaganya.

Atau jangan-jangan pekerjaan itu saya lakukan lebih karena saya ingin menjadi orang yang begitu hematnya. Bahkan mencuci mobil pun harus dilakukan sendiri karena akan menyelamatkan anggaran. Termasuk membongkar pasang rodanya pun kalau perlu harus dikuasai sendiri karena melatih kemandirian. Saya bukan anti penghematan dan kemandirian, tetapi saya ngeri jika menjadi orang yang kesulitan membedakan mana hemat, mana kikir. Mana kemandirian mana kekonyolan.

Tapi alasan pertama itu sesungguhnya masih saya anggap sederhana. Jika terpaksa, saya masih sanggup melakukannya. Jika perlu, saya bisa menyiapkan alasan pembenaran. Tetapi begitu alasan pembenar itu saya adu dengan alasan saya yang sejujurnya, niat bersopir pribadi itu saya teruskan juga.

Alasan paling jelas ialah ketika melihat jumlah manusia menganggur begitu banyaknya, termasuk saudara, sahabat dan tetangga. Saya tidak ingin mejadi tontonan, karena sementara mereka begitu menganggurnya, saya begitu sibuknya. Ini pasti karikatur sosial. Lepas dari bahwa Anda tidak bermaksud sok mulia, membiarkan ketidak seimbangan lingkungan adalah keputusan berbahaya.

Apalagi sebetulnya, selalu ada dorongan dari manusia untuk berbuat mulia, tak terkecuali saya. Dorongan ini harus didengar, dirawat dan dibesarkan karena ia adalah sumber kegembiraan. Maka tidak malu saya jika harus dianggap sok mulia, bahwa dengan mempekerjakan sopir itu karena memang ada niat ingin menggembirakan sesama. Jangankan cuma membantu seorang sopir saja, jika perlu, senang sekali jika ternyata saya ini diberi kemampuan mempekerjakan semua penganggur di seluruh dunia.

Maka jika gubernur ini mengatakan bak orang lumpuh ketika sedang disopiri, saya malah merasa sedang melumpuhkan orang-orang yang sehat ketika sedang menyetir sendiri. Konsep siapa yang kebih benar? Semuanya benar karena salah dan benar ternyata seperti dua buah gambar di sebuah koin yang sama. 
-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone

Komentar

Postingan Populer