Ketika Pikiran Ku Kosongkan (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

Aku berterimakasih kepada seorang yang telah kuanggap sebagai kakak pergaulan dan kepadaku ia memberi banyak bimbingan. Tak semua bimbingan aku laksanakan bukan karena bimbingan itu keliru, melainkan lebih karena kekerasan kepalaku. Salah satu bimbingan itu kuperloleh ketika kami berdua menonton pertunjukan lawak dan seluruh penonton tertawa rerbahak-bahak, termasuk dia, sementara aku sendiri cemberut demikian hebatnya.


Jadi ketika seluruh orang bergembira, aku malah begitu menderita. Seluruh lawakan itu bagiku adalah pertunjukan kebodohan. Jadi jangankan tertawa, bahkan melihat tampang-tampang pelawak itu pun malah membuatku ingin membakar seluruh gedung pertunjukan saja raanya. Menurutku seluruh isi lawakan itu cuma menghina kecerdasanku. Kemarahanku makin menjadi-jadi saja ketika para penonton itu, suka cita saja menertawakan sebuah kebodohan. Maka sementara orang-orang bergembira dan tertawa-tawa, aku menyumpah-nyumah demikian hebatnya.

Melihat aku menderita seperti ini, sang kakak pergaulan itu segera melirikku, memintaku untuk menenangakan diri dan mau mengosongkan pikiran. Nasihat yang sama sekali gagal kururuti, karena kesibukanku menuruti kemarahan artistik yang sedang membakar kepalaku. Baru di hari-hari ini saja aku terkenang kembali nasihatnya. Bersyukur bahwa aku pernah menjadi adik pergaulannya dna mendapat nasihat yang berharga ini.

Kini seluruh pelawak, bahkan yang paling tidak lucu sekalipun, selalu menggelikan hatiku. Jika aku ingin menonton pelawak yang lucu aku cukup menikmati kelucuannya di atas pangung. Sementara untuk menikmati pelawak yang gagal aku akan mencari kelucuannya setelah dia turun panggung.

Seorang pelawak yang diminta turun pentas karena dianggap tidak lucu, pernah mengocok perutku justru ketika ia aku temui di kamar ganti. Tampangnya susah sempurna dengan keringat dingin membasah di sekujur tubuhnya. ''Luar biasa! Penonton sebegitu banyaknya kok satu saja tidak ada yang tertawa. Ini lucu sekali! Ini meyadarkan saya bahwa esok pagi, saya harus sudah harus pindah profesi jadi tukang bakso,'' kata pelawak malang ini sambil mengelap seluruh keringat dingin yang kuyup di wajahnya.

Kenapa dulu aku sulit tertawa begitu melihat pelawak yang menurutku buruk mutunya? Karena aku pernah merasa ahli dalam soal humor. Maka siapa saja yang berhumor kurang dari mutu yang kutetapkan, ia akan menjadi musuhku. Perasaan sebagai orang ahli inilah yang kemudian menanamkan banyak prasangka di benakku. Ada berbagai kriteria yang telah kutetapkan, aneka standar telah kupatok nilainya. Maka bahkan penonton yang sedang menertawakan humor yang belum menjangkau standarku itu, akan ikut kupersalahkan.

Aku menjadi angkuh dengan standarku yang kukira paling benar, paling mutu dan paling artistik itu. Kepalaku lalu mendongka dengan standar itu. Apa saja yang menurutku di bawah ukuranku akan kupandang dengan mata memicing dan sinisme yang merendahkan. Tapi inilah hasilnya: dengan kepala yang penuh standar seperti itu membuatku sulit sekali untuk tertawa dan sulit sekali bahagia. Musuh seperti berada di mana-mana, karena hampir semua orang aku musuhi.

Kini aku sungguh ingin melihat manusia dari sudut standarnya sendiri. Dari sudut ini aku baru mengerti bahwa setiap pribadi menyimpan pesonannya sendiri-sendiri. Kini aku ingin sekali terpesona pada siapa saja.

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone

Komentar

Postingan Populer