Pergi hanya untuk kembali (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

PAK Harto mangkat dan bendera setengah tiang dikibarkan di sekujur Indonesia, termasuk di kampung saya. Kematian tokoh ini memberi banyak pekerjaan rumah tidak cuma bagi Indonesia, tetapi juga bagi kedisiplinan di rumah saya. Betapa berantakan keadaannya karena bendera itu baru saya temukan setelah seluruh almari saya obrak-abrik sedemikian rupa. Betapa buruk perhatian saya pada negara, jika perhatian kepada bendera menjadi salah satu indikatornya.


Ketika bendera itu sudah ketemu, saya baru ingat, bahwa tiangnya yang ganti tidak ada. Yang ada cuma kotak beton tancapannya. Kotak ini pun baru saya temukan belakangn karena baik tiang maupun kotaknya sama-sama mudah dilepas dan dipindah. Jadi entah oleh keisengan siapa barang ini pernah lenyap dari rumah dan saya butuh keliling kampung untuk kembali menemukannya.

Akhirnya bendera setengah tiang saya kibarkan, saya menyapu daun-daun kering di bawahnya. Saya singkirkan kerikil dan apa saja yang mengotori lokasi tiang bendera saya yang sempit itu. Untuk ikut melepas jenazah Pak Harto saya tidak perlu ke Cendana atau ke Astana Giri Bangun karena pasti percuma. Bukan cuma akan gagal masuk, tapi salah-salah malah bisa tergencet massa. Maka saya merasa bebas melakukannya dari halaman rumah saya sendiri. Dan tidak ada perintah politik apapun yang membuat saya melakukan keputusan ini.

Begitu juga dengan tetangga-tetangga saya. Saya melihat bendera setengah tiang rapi dikibarkan di sekujur kampung. Ini pasti juga bukan kepatuhan politik. Tetapi memang begitulah cara kampung kami mengajarkan, bahwa setiap jenazah yang hendak diberangkatkan siapapun ia, harus dibekali kesaksian tentang kebaikannya. Tegasnya, terhadap jenazah, kami dimohon menatap cuma kebaikan-kebaikannya. Maka keadaan seperti itulah yang terjadi ketika Pak Harto tiada. Itulah kenapa duka cita bisa demikian serempak berlangsung di Indonesia.

Tapi adakah pihak yang hari ini yang berduka dan yang kemarin menurunkan Soeharto dari kekuasaan itu adalah pihak yang sama? Bisa jadi. Dan inilah persoalan terbesar manusia yakni kesulitannya memisahkan diri dari ironi. Manusia bisa mencintai sedemikian rupa untuk akhirnya cuma membenci sedemkian rupa. Setelah membenci sedemikian rupa, ia bisa jauh cinta lagi sedemikian rupa. Saya punya teman yang jika pergi selalu terburu-buru, tetapi jika sudah sampai tujuan, selalu ingin kembali juga secara buru-buru. Jadi pekerjaan orang ini sebetulnya bukan pulang bukan pergi, melainkan sekedar terburu-buru itu sendiri. Terburu-buru untuk apa? Untuk sesuatu yang tidak jelas bentuknya. Seperti Sisipus itulah; mahkluk yang dikutuk untuk bolak-balik mengangkat batu ke atas bukit cuma untuk dijatuhkannya kembali.

Selalu ada ''Sisipus Kompleks'' dalam hidup kita. Kita bisa membenci seorang copet habis-habisan untuk kembali iba setelah ia babak belur dihajar massa. Saya pernah begitu marah pada anak saya gara-gara ia menghapus tulisan di komputer, tetapi langsung gemetar oleh rasa iba begitu melihat anak itu pucat oleh ketakutan dan rasa bersalah. Naluri Sisipus memang bersemayam dalam diri kita. Dan ia sesungguhnya bukan kutukan, melainkan naluri yang wajar dan menyehatkan. Di mana letak kesehatan itu berada? Di dalam batas!

Marah dan iba saya kepada anak saya itu, adalah keasyikan yang menyehatkan hidup, jika persoalannya memang sekadar ia menghapus tulisan di komputer, batapapun susah-payah saya menulisnya. Ia tak perlu jadi anak durhaka karenanya. Saya malah makin bisa mencintai anak ini setiap terbayang kembali wajahnya yang pucat dan matanya yang berleleran air mata. Ya, saya atau siapapun kita, sebetulnya bisa mencegah ironi-ironi hidup ini jika mengerti batas!

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone

Komentar

Postingan Populer