Di Stadion dengan penonton ratusan ribu orang (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

Di stadion Senayan tak kurang seratus ribu orang berkumpul bukan untuk nonton sepak bola, tapi sekadar untuk nonton layar lebar yang menyiarkan pertandingan bola. Ada perbedaan besar antara nonton bola beneran dan cuma sekadar nonton "bioskop" bola. Tapi perbedaan besar itu bagi kita seperti tak ada artinya.


Kita seperti sudah bingung membedakan mana kejadian sebenarnya, mana yang bukan. Atau, meskipun bisa, kita sudah tak peduli lagi apakah yang kita hadapi adalah benar-benar kenyataan atau cuma sekadar gambaran kenyataan. Karena bisa jadi, saking jauhnya kita dari kenyataan itu, maka sekadar gambar kenyataan pun cukuplah. Karena saking mustahilnya kita ikut piala dunia, maka menjadi penonton pun cukuplah. Soal apakah mereka adalah Jerman, Brasil atau Indonesia, tak penting lagi, karena semua bisa terasa sebagai "negara saya".

Sebagai penonton, kita pun tidak cukup menjadi penonton biasa, tapi penonton sesungguhnya. Bahwa yang kita tonton itu bukan sekadar bioskop, tapi sepak bola sebenarnya. Maka jika ada kesebelasan favorit kalah, bila hati ini panas dan tidak puas, kita boleh membuat keonaran, kalau perlu membakar stadion segala.

Hebat sekali kemampuan kita ini dalam merasakan kenyataan semu itu sebagai asli. Karena cuma dengan "nonton bioskop" pun kita terbukti bisa membakar bangku-bangku tribune, kita bisa mengadakan karnaval di jalan-jalan dengan kegembiraan sepenuhnya, kita bisa berpesta sedemikian rupa atas hajatan yang bukan punya kita.

Lalu di tengah-tengah panggung besar itu, seorang pejabat pun berpidato, yang celakanya, malah menambah jelas bakat kita dalam urusan nebeng kenyataan tetangga. Tiba-tiba saja, dengan alasan entah, pejabat ini merasa perlu untuk berkomentar tentang sepak bola Indonesia. Tentang mutunya yang jauh dari ajang panggung bola dunia. "Sepak bola kita adalah tanggung jawab kita semua," katanya.

Lho, bagaimana ini mungkin? Kenapa lagi-lagi, jika ada persoalan, pihak penanggungjawab itu harus melebarkan sebutannya menjadi "kita". Kenapa tidak cukup saya dan kami saja. Ini sama sekali pilihan kata yang tidak fair. Karena rakyat jarang membuat kerusakan. Tapi giliran kerusakan --yang biasanya disebabkan oleh kaum "saya" dan "kami"-- itu tiba, rakyat harus dilibatkan sebagai kita. Sekarang, siapa yang peduli dengan jumlah lapangan di Indonesia? Berapa jumlah lapangan yang dibabat untuk dijadikan hunian? Apakah para pengembang perumahan itu pernah menyediakan lapangan sebagai derma publik?

Banyak sekali keputusan para "kami" dan "saya" itu yang sama sekali tidak membela hak-hak publik. Dan anehnya, publik yang jelas-jelas menjadi korban, pada gilirannya malah ditunjuk sebagai pihak yang keliru. Lalu ada pula pejabat yang mengajak semua pihak untuk melupakan hal-hal yang lalu. "Kita berpikir ke depan saja. Kita lupakan kesalahan-kesalahan lalu."

Lho, bagaimana ini mungkin? Bagaimana bisa ongkos kesalahan cukup ditebus hanya dengan melupakan. Begitu enak ternyata hidup para pembuat kesalahan. Padahal kesalahan masa lalu itu banyak di antaranya tidak benar-benar lalu, tapi sekadar kemarin. Jadi tidak ada jaminan bahwa setelah dimaafkan tidak akan ada lagi kesalahan baru. Jangan-jangan, ajakan untuk gampang memaafkan kesalahan lama itu hanya untuk membuat agar seseorang tetap gampang melakukan kesalahan baru.

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone



Komentar

Postingan Populer