Benarkah Imam Syafi‘i Mencela Ilmu Kalam?

Benarkah Imam Syafi‘i Mencela Ilmu Kalam?

Ketahuilah—semoga Allah menjagamu—bahwa yang dimaksud oleh Imam al-Syafi‘i dalam ucapannya:
“Hukumanku terhadap para ahli kalam adalah: mereka dipukul dengan pelepah kurma, diarak di atas unta, dikelilingkan ke perkampungan dan kabilah-kabilah, lalu diumumkan atas mereka: ‘Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan al-Kitab dan al-Sunnah dan berpaling kepada ilmu kalam’” [1],
dan ucapan-ucapan beliau yang sejenis, adalah ilmu kalam yang tercela, yaitu ilmu kalam yang digunakan oleh kaum Mu‘tazilah dan para penganut kebatilan. Bukan sebagaimana yang dipahami oleh kaum Ḥasyawiyyah bahwa beliau mencela ilmu kalam secara mutlak tanpa pengecualian.
Hal ini ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi—raḥimahullāh— bahwa Yunus bin ‘Abd al-A‘lā berkata:
Aku mendatangi al-Syafi‘i setelah ia berdebat dengan Ḥafṣ al-Fard, lalu ia berkata: ‘Engkau lama tidak bersama kami, wahai Abu Musa. Sungguh aku telah melihat dari kalangan ahli kalam sesuatu yang—demi Allah—tidak pernah terlintas dalam benakku sama sekali. Dan sungguh, seseorang ditimpa seluruh dosa yang dilarang Allah selain syirik, itu lebih baik baginya daripada Allah menimpakannya dengan ilmu kalam’.” [2]
Al-Dzahabi—raḥimahullāh—berkata:
“Al-Syafi‘i, setelah berdebat dengan Ḥafṣ al-Fard, membenci ilmu kalam. Ia berkata: ‘Demi Allah, seorang alim difatwakan lalu dikatakan: “alim itu keliru”, itu lebih baik baginya daripada ia berbicara (dalam kalam) lalu dikatakan: “ia zindiq”. Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan para pelakunya’.” [3]
Ḥafṣ al-Fard adalah seorang Mu‘tazili. Maka dapat dipahami dari ucapan Imam al-Syafi‘i—raḍiyallāhu ‘anhu—bahwa yang beliau maksud adalah ilmu kalam Mu‘tazilah. Karena itu, kami pun berkata tentang ilmu kalam yang digunakan oleh kaum Mu‘tazilah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syafi‘i—raḍiyallāhu ‘anhu—tentangnya.
Imam al-Baihaqi—raḥimahullāh—berkata:
“Sesungguhnya yang dimaksud oleh al-Syafi‘i—raḥimahullāh—dengan ucapan ini hanyalah Ḥafṣ dan orang-orang sepertinya dari kalangan ahli bid‘ah. Inilah maksud beliau dalam setiap riwayat yang dinukil darinya tentang celaan terhadap ilmu kalam dan para pelakunya. Hanya saja, sebagian perawi menyampaikannya secara mutlak, dan sebagian yang lain membatasinya. Dan pada pembatasan sebagian perawi itu terdapat petunjuk yang jelas tentang maksud beliau.
Ḥafṣ al-Fard masuk menemui al-Syafi‘i dan berbicara dengannya. Setelah itu al-Syafi‘i keluar menemui kami dan berkata: ‘Sungguh, seorang hamba bertemu Allah dengan dosa-dosa sebesar gunung-gunung Tihāmah itu lebih baik baginya daripada ia bertemu Allah dengan keyakinan terhadap satu huruf saja dari apa yang dianut oleh orang ini dan para pengikutnya’. Dan ia (Ḥafṣ) berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Riwayat-riwayat ini menjelaskan maksud al-Syafi‘i terhadap ucapan-ucapan beliau yang disampaikan secara mutlak sebelumnya maupun yang tidak disebutkan di sini. Bagaimana mungkin ucapan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah dianggap tercela menurut beliau, padahal beliau sendiri berbicara dengannya, berdebat tentangnya, dan membongkar tipu daya orang-orang yang menyusupkan kepada sebagian sahabatnya dari kalangan ahli hawa nafsu sesuatu dari keyakinan mereka?” [4]
Al-Baihaqi—raḥimahullāh—adalah orang yang paling mengetahui Imam al-Syafi‘i dan ucapan-ucapan beliau.
Imam al-Qarāfi berkata:
“Diriwayatkan dari al-Syafi‘i—raḍiyallāhu ‘anhu—bahwa ia berkata: ‘Seandainya aku mendapati para ahli kalam, niscaya aku akan memukul mereka dengan besi’.
Seorang ulama Syafi‘iyyah berkata kepadaku—dan ia termasuk orang yang terlibat dalam perkara ini pada masa itu—: ‘Ini menunjukkan bahwa mazhab al-Syafi‘i adalah mengharamkan pembahasan dalam usul agama.’
Aku berkata kepadanya: ‘Tidak demikian. Karena yang disebut ahli kalam menurut istilah kita hari ini adalah al-Asy‘ari dan para pengikutnya. Mereka tidak sezaman dengan al-Syafi‘i dan bukan pula dari generasi awal itu. Yang ada pada masa al-Syafi‘i hanyalah ‘Amr bin ‘Ubaid dan selainnya dari kaum Mu‘tazilah yang sesat dan ahli bid‘ah. Seandainya kami menjumpai mereka, niscaya kami akan memukul mereka dengan pedang, apalagi dengan besi. Maka ucapan al-Syafi‘i itu adalah celaan terhadap mereka, bukan terhadap sahabat-sahabat kami. Adapun sahabat-sahabat kami yang menegakkan hujjah Allah dan membela agama Allah, maka mereka wajib diagungkan dan tidak boleh direndahkan, karena mereka menunaikan fardu kifayah atas umat. Umat telah bersepakat bahwa menegakkan hujjah bagi Allah Ta‘ala adalah fardu kifayah.’
Al-Syafi‘i berkata kepadaku: ‘Cukup dalam hal itu al-Kitab dan al-Sunnah.’
Aku berkata kepadanya: ‘Lalu bagaimana hujjah ditegakkan terhadap orang yang tidak meyakini keduanya?’ Maka ia pun terdiam.” [5]
Selanjutnya, Imam al-Syafi‘i—raḍiyallāhu ‘anhu—telah menggunakan ilmu kalam. Ia berdebat dengan Ḥafṣ al-Fard dalam masalah ilmu kalam dan tauhid, menampakkan kebatilan mazhabnya, bahkan mengkafirkannya. [6]
Imam al-Syafi‘i juga berkata:
“Setiap pembicaraan (kalam) yang berlandaskan al-Kitab dan al-Sunnah adalah kebenaran dan kesungguhan; selain itu hanyalah ocehan.” [7]
Ini adalah nash yang sangat jelas dari Imam al-Syafi‘i yang menunjukkan bahwa beliau membedakan antara ilmu kalam yang tercela dan ilmu kalam yang terpuji.
Lebih jauh, Imam al-Baihaqi—raḥimahullāh—meriwayatkan sesuatu yang menunjukkan bahwa Imam al-Syafi‘i—raḍiyallāhu ‘anhu—termasuk orang yang paling cerdas dan mendalam dalam ilmu ini. Ia berkata:
“Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah al-Ḥāfiẓ, ia berkata: telah mengabarkan kepadaku Naṣr bin Muḥammad al-Ṣufi, ia berkata: aku mendengar ‘Abd al-Raḥmān bin Ḥafṣ berkata: aku mendengar Abu ‘Ali al-Raudhbāri berkata: aku mendengar Ibn Baḥr berkata: aku mendengar al-Muzani berkata: Terjadi perdebatan antara aku dan seseorang. Ia mengajukan kepadaku suatu persoalan kalam yang hampir membuatku ragu terhadap agamaku. Maka aku mendatangi al-Syafi‘i dan berkata kepadanya: ‘Telah terjadi begini dan begitu.’ Ia berkata kepadaku: ‘Di mana engkau?’ Aku menjawab: ‘Aku di masjid.’ Ia berkata: ‘Engkau berada seperti di lautan Tārān yang ombaknya menamparmu. Ini adalah persoalan kaum ateis, dan jawabannya adalah begini dan begitu. Dan sungguh, seorang hamba ditimpa semua bahaya yang diciptakan Allah lebih baik baginya daripada ia ditimpa dengan ilmu kalam.’” [8]
Al-Baihaqi juga berkata:
“Aku membaca dalam kitab Abu Nu‘aim al-Aṣbahani sebuah kisah dari al-Ṣāḥib bin ‘Abbād, bahwa ia menyebutkan dalam kitabnya dengan sanadnya dari Isḥāq, ia berkata: Ayahku berkata kepadaku: Suatu hari al-Syafi‘i berbicara (berdebat) dengan sebagian fuqaha. Ia sangat teliti, mendalam, menuntut, dan menyempitkan argumen mereka. Maka aku berkata kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdillah, ini cocok untuk ahli kalam, bukan untuk ahli halal dan haram.’ Ia menjawab: ‘Kami telah mengokohkan yang itu sebelum yang ini.’” [9]
Maka renungkanlah—wahai pembaca yang mulia—teks yang sangat jelas ini dari Imam al-Syafi‘i—raḍiyallāhu ‘anhu.
Selanjutnya, diriwayatkan pula dari sebagian imam ahli ilmu adanya celaan terhadap ilmu hadis.
Di antara riwayat tersebut adalah ucapan Syu‘aib bin Ḥarb:
“Kami suatu hari berada bersama Sufyān al-Tsauri, lalu kami membicarakan hadis. Ia berkata: ‘Seandainya dalam hadis ini terdapat kebaikan, niscaya ia akan berkurang sebagaimana kebaikan berkurang. Namun ia adalah keburukan, maka aku melihatnya justru bertambah sebagaimana keburukan bertambah.’” [10]
Sufyān al-Tsauri juga berkata:
“Mencari hadis bukanlah bagian dari bekal menghadapi kematian, tetapi ia adalah penyakit yang menyibukkan seseorang.” [11]
Ḥammād bin Salamah berkata:
“Aku tidak melihat ilmu yang lebih mulia dan pada saat yang sama kaum yang lebih dangkal daripada ahli hadis.” [12]
Maka bagaimana mungkin ilmu kalam dianggap tercela dan tidak boleh dipelajari hanya karena terdapat celaan terhadapnya dari sebagian salaf, sementara ilmu hadis boleh dipelajari, padahal juga terdapat dari sebagian salaf ucapan-ucapan yang mencelanya?
Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan

Komentar

Postingan Populer