Inul Pulang Kampung (Merenung Sampai Mati - Prie GS)

Inul pulang kampung. Ia akan kembali pentas dari pangung ke panggung sambil introspeksi, sambil meminta maaf karena sekarang ini ia telah dianggap berdosa membenamkan musik dangdut yang telah naik derajatnya itu kembali ke comberan.


Maka sekarang jelas sudah: peta musik dangdut ternyata terbagi dua bagian: yang satu adalah pedangdut aliran putih, dan sisanya aliran hitam. Sebagaimana pendekar dalam cerita silat, tugas pendekar aliran putih ini adalah menumpas kezaliman dan menegakkan kebenaran.

Para pendekar yang telah begitu bersusah-payah membangun kemuliaan di bumi ini masgul karena segenap usahanya itu luluh lantak secara tiba-tiba akibat ulah golongan hitam. Maka para pedangdut sesat itu harus angkat koper dari tempat-tempat yang mulia seperti televisi dan panggung-panggung yang cuma cocok untuk trah kaum putih. Karena untuk sepanggung bersama pun para pedangdut putih itu merasa sedang berhadapan dengan pasien lepra.

Selain ada golongan putih, dunia musik juga memiliki golongan bapak dan ibu asuh. Dari rahim merekalah musik dangdut itu dilahirkan dengan mutu seorang anak jadah. Hanya karena berkat kesabaran merekalah, berkat kemuliaan dan mutu mereka sebagai orang tua asuh itulah, musik dangdut naik jenjang, menjadi anak baik-baik dan luhur martabatnya.

Sebagaimana galibnya orang tua, golongan ini kemudian merasa berhak menganggap anak sebagai hak milik. Sebagai hak milik, wajar jika orang tua ini berhak mengatur-atur, mencegah jika anaknya bergaul dengan teman yang berstatus rendah, marah jika si anak diajak ke arah yang salah. Dari awal, anak bernama dangdut ini sudah dirawat begitu rupa, sudah hampir menjadi anak yang menjunjung nama baik keluarga jika tidak tiba-tiba muncul para pedangdut berandalan yang menghancurkan semuanya.

Padahal jasa para orang tua ini sudah hampir sempurna. Mereka bahkan sudah layak dipatungkan dan dijadikan nama-nama jalan karena jasa-jasanya. Menyebut dangdut tanpa menyebut mereka adalah sebuah kelancangan. Membuat pembaruan tanpa restu mereka adalah langkah durhaka. Jangankan bermimpi menggeser kedudukan mereka, bahkan para generasi berikutnya itu, harus tahu diri. Jangan sukses tanpa menganggap mereka sebagai senior, panutan, guru, dan minimal sesepuh.

Maka bahkan soal cara bergoyang pun harus dikonsultasikan. Jangan bergoyang tanpa mendapat restu. Ingat, dangdut sudah menjadi hak milik pribadi, dan jangan ada pihak lain mencoba bermain api. Jangan mengotori goyang yang sudah ditetapkan karena moral dan keluhuran itu sudah pula digariskan. Maka pihak di luar garis ini, jelas kedudukannya: perusak moral bangsa, artis kampungan dan penyanyi tanpa kasta. Jadi memang ada bangsa yang begitu rapuh moralnya hingga terhadap goyang pinggul saja langsung porak-poranda.

Begitulah wajah musik dangdut di Indonesia. Musik yang semula dikira milik kaum pinggiran, musik rakyat kampungan ini ternyata diam-diam telah menjadi anak pingitan. Ia telah menjadi hak milik sebuah kekuasaan. Dan seperti lazimnya kekuasan, ia langsung berkuasa menentukan baik-buruk, boleh-tidak boleh, halal-haram, taat-sesat, tanpa berkonsultasi dengan rakyat kebanyakan. Padahal sementara para penguasa itu demikian tegang, rakyat kebanyakan ini biasa tenang-tenang saja.

Tapi sudahlah. Inul sudah terlanjur pulang kampung dan kita lupa mengantarnya. Orang boleh tidak menyukai goyangannya, tapi siapa saja yang sedang menjadi korban kekuasaan, berhak atas santunan, setidaknya teman perjalanan.

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone




Komentar

Postingan Populer