Meditasiku yang gagal (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

Saya selalu senang melihat orang-orang yang berpembawaan tenang. Saya malah suka terpesona melihat orang-orang yang begitu mudah tidur. Masuk mobil langsung tidur. Sementara penumpang lain tegang pada keganasan jalan raya, orang ini malah mendengkur dengan kerasnya. Enak betul.


Begitu juga dengan penumpang pesawat yang satu ini: masuk, menemukan kursi, memasang sabuk pengaman dan pulas seketika. Salama perjalanan ia cuma bangun sekali, yakni ketika ia digugah pramugari, itupun cuma bangun untuk tidur lagi. Sementara penumpang lain sibuk tegang berada di ketinggan, sementara ada penumpang yang sejak pesawat naik hingga turun tak henti-hentinya berdoa, orang yang satu ini baru benar-benar bangun setelah pesawat sampai ke landasan.

Jika pesawat itu meledak berkeping-keping di udara misalnya, orang ini pasti pihak yang paling menikmati situasinya. Bahkan jika harus mati pun, kematian itu bukan soal yang menyakitkan karena ia sedang tertidur begitu nyenyaknya untuk bangun dan tersadar ketika kematian tiba. Enak betul. Telah banyak diceritakan tentang kematian orang-orang suci yang begitu rileks caranya dan sebagian di antaranya, konon meninggal sambil tertidur. Apakah orang yang mudah tertidur adalah indikasi orang suci? Entahlah. Tetapi suci atau tidak, tidur dengan mudah adalah anugerah!

Kebetulan saya mengerti betul betapa enaknya tidur nyenyak, betapa tidak enaknya tak bisa tidur dan betapa capeknya tidur tak nyenyak, karena ketiga keadaan ini sering saya alami. Untuk menjadi orang yang tidak bermutu yang mudah uringan-uringan, suka mengutuki keadaan dan merasa bernasib malang, saya tidak memerlukan musibah besar, melainkan cukup hanya dengan kekurangan tidur. Sebaliknya, bangun dari tidur yang bermutu sungguh mendorong kita untuk mudah bergembira. Batuk tetangga pun akan terdengar merdu di telinga.

Maka kekaguman aaya kepada orang-orang yang tenang dan mudah tertidur sungguh tak terbantahkan. Begitu ada kesempatan tak tahan bagi saya untuk menanyakan resepnya. Ada di antara meeka yang mengaku memiliki bakat tidur alamiah, tetapi ada yang karena rajin berlatih. Meditasi adalah salah satunya. Naa, meditasi itu pula yang akhirnya menjadi keinginan saya. Di mata saya, ahli meditasi, adalah orang yang selalu berhasil mengembalikan keadaan, betatapun gentingnya, ke dalam ketenangan.

Hidup selala berselancar di pantai yang tenang, di semilir angin dan kedamaiman lembah amboi, betapa indahnya. Itulah hidup yang selalu dijalankan dengan senyum mengembang, dengan kesabaran yang terjaga dan kebijaksanaan tanpa henti. Itulah senyum yang jejaknya saya temui pada diri para bijak dan empu-empur rohani yang membuat saya iri. Karena iri saya pun tergoda untuk berlatih meditasi di pagi dan petang.

Begitu saya telah duduk bersila nafas tenang saya alirkan, bibir ini saya senyum-senyumkan bak orang-orang bijak itu. Pada dua tarikan nafas pertama saya benar-benar serasa telah mejadi bijak. Tapi tarikan nafas berikutnya mulai seret dan nafas selanjutnya malah berkembang seperti orang terserang asma. Bayangan orang bijak dengan senyum sabar itu sudah bergeser ke pekerjaan yang semalam tertunda karena sebuah kelelahan. Ooo, meditasi ini serasa salah waktu, karena pagi ini mestinya saya sau harus merampungkan sebuah tulisan yang sudah ditunggu.

Jadi betapapun baik saya merampungkan meditasi ini, betapapun tenang jiwa ini oleh sebuah kontemplasi, tetapi telah jelas hitung-hitungannya: bahwa sehabis meditasi, pekerjaan yang semalam sudah tertunda itu akan makin buruk saja keadaannya. Sebentar lagi pasti akan ada telepon yang menagih, dan saya harus menyiapkan alasan pembenaran. Setelah alasan saya berikan orang itu pasti akan kecewa meskipun mencoba memahami.

Tetapi meskipun dipahami, saya pasti merasa besalah di dalam hati. Sebagai gantinya, saya pasti akan ngebut merampungkan keterlambatan ini. Dalam suasana seperti itu, jangankan menjadi orang bijak, bahkan tidak mengutuk menyumpah kanan-kiri pun sudah merupakan keberuntungan.

Maka meditasi saya itu malah cuma berbuah kekacauan. Saya putuskan bangun secepatnya untuk mengetik dengan kesetanan dan sepakat mendahulukan pekerjaan. Begitu telepon berdering, pekerjaan sudah saya rampungkan. Hasilnya saya lega, tenteram dan gembira luar biasa. Oo inilah agaknya hasil meditasi yang sesungguhnya. Maka rumus menentramkan diri itu ialah: merampungkan pekerjaan pada waktunya, menghindari masalah secepatnya dan hidup dengan sedikit mungkin masalah!

Komentar

Postingan Populer