Memperpanjang Nafas Keluarga (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

Saya pernah mengatakan sumber stres utama di zaman ini adalah jalan raya. Kini, pernyatan itu saya koreksi sendiri bahwa sumber stres utama itu adalah keluarga. Terutama keluarga yang kita biarkan menjadi buruk mutunya. Karena seberat-beratnya jalan raya menekan kita dengan kemacetannya, ada keluarga yang akan menyambut kita dan meredakannya. Jalan raya hanyalah bagian dari hidup, sedang keluarga adalah seluruh hidup. Maka jika rusak mutunya, akan rusak pula seluruh hidup.



Karena cukup hanya dengan memiliki bapak yang otoriter, seorang anak merasa rumahnya adalah neraka. Pulang adalah kata yang ia takuti karena rumahnya cuma mendatangkan satu perasaan saja: ketidaktenteraman. Kemanapun matanya memandanng ke sekujur ruangan, hanya akan terlihat wajah bapaknya yang selalu keruh, penuh perintah dan hardikan. Maka hidup di luaran menjadi keasyikan.

Sebagai sesama lelaki dan seorang bapak, saya pasti juga memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi orang tua horor semacam itu. Suatu kali watak ini saya simulasikan di rumah. Anak-anak saya minta membayangkan bapaknya sebagai bapak yang kejam. Pertama saya minta mereka mengimajinasikan bagaimana jika bapaknya kawin lagi. Baru diminta membayangkan saja jeritan sudah terdengar di sana-sini. Tapi permintaan ini serius. Saya meminta mereka meneruskan imajinasinya.

Bahwa sejak hari ini, bapakya sudah memiliki ibu baru yang lebih muda, lebih cantik dari ibu mereka. Dan hari-hari bapaknya akan terbagi dengan pemberatan di istri mudanya. Jika pagi hari, bapak ini tidak lagi punya kesempatan untuk mengantar mereka kesekolah lagi, ikut mencarikan topi dan dasi dan menjemput mereka jika pulang nanti. Ketika telah sampai ke rumah, mereka hanya akan mendapati kamar-kamar yang sepi, ibunya yang makin lama makin terlihat tua, tertekan dan uring-uringan lalu gagal mengurus diri.

Sementara di rumahnya kekacauan makin hari makin meninggi, mereka malah mendapat bocoran bahwa bapaknya sedang membangunkan rumah baru untuk ibu tiri mereka. Ibu muda itu sedang mengandung pula dan bersiap memiliki bayi, membangun keluarga kecil baru, bermain, bergembira seperti keluarga mereka dulu. Kini keindahan mereka yang dulu telah berpindah ke rumah baru itu. Hasilnya, ibu mereka makin hari makin termakan oleh kesedihan dan fisiknya tinggal kulit berbalut tulang.

Jika sesekali bapaknya datang untuk menengok dan mendapati istrinya sudah demikian layu dan porak-poranda, hanya satu keinginannya: berbalik secepatnya ke rumah istri muda. Kalaupun reaksi ini memunculkan kemarahan seluruh keluarga, si bapak ini akan membalasnya dengan kemarahan. Apa saja akn dibantingnya. Gelas-gelas, foto-foto hingga asbak. Saya betul-betul memeragakan bantingan ini. Saya membanting bantal dengan keras ke lantai dan meminta mereka membayangkan sebagai bola kritsal yang di rumah saya tidak ada. Saya bahkan melempar pesawat televisi yang sedang menyala dengan kaos kaki dan meminta mereka membayangkannya sebagai granat.

Simulasi ini berjalan sempurna. Karena sebelum saya melanjutkan imajinasi gila ini anak-anak sudah memekik-mekik histeris. Selanjutnya mereka sudah menghambur ke ibu mereka yang dalam benak barusan sedang menjadi pihak yang amat teraniaya. Jika mereka gagal menangis, lebih karena secepat mungkin kami merubahnya menjadi gelak tawa. Anak-anak ini takjub bukan main demi melihat ibu tercintanya masih utuh, masih segar bugar dan tidak diitnggal kawin suaminya. Anak-anak ini kami ajak merasakan sensasi betapa walau rumah mereka kecil dan sederhana, masih penuh dengan cadangan gelak tawa. Kami setiap kali berimajinasi tentang kengerian, agar kebahagiaan di dunia nyata yang sedang kami miliki ini, tidak kami lupa.

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone

Komentar

Postingan Populer