Anak-anak Ayam (Merenung Sampai Mati - Pri GS)


Tak semua tamu membawa oleh-oleh dan tak semua oleh-oleh ternyata menyenangkan tuan rumah. Contohnya adalah tamu yang satu ini, yang datang dengan oleh-oleh aneh: tiga ekor anak ayam. Yang dituju pastilah anak-anak saya yang masih kecil-kecil, karena anak ayam yang dibawa ini adalah jenis yang telah diguyur warna merah, hijau, kuning, seperti manisan.
 
 
Tamu ini benar, karena dalam sekejap saya anak-anak saya sudah histeris dengan mainan hidupnya. Tamu ini mengira bahwa tujuan mulianya berhasil karena ia juga tampak begitu bergembira. Begitu gembiranya hingga lupa kalau saya dan istri saling pandang dengan muka ditekuk.

Tapi di hadapan tamu yang tulus ini, kami harus secepatnya tahu diri. Kami pun segera terlibat dengan ayam yang memang lucu itu. Walau kegembiraan kami adalah palsu belaka. Kelucuan ayam ini sungguh menjadi tak penting lagi. Karena jauh lebih penting adalah membayangkan betapa repot nanti mengurus tahinya, bagaimana kandangnya dan berapa lama kami harus memeliharanya.

Di rumah kami yang kecil, tambahan makhluk hidup, betapapun lucunya, mengandung risiko yang tidak sederhana. Soal tempat dan kotoran, itu yang pertama. Soal pemeliharaan itu soal yang kedua. Rumah sekecil ini habis sudah untuk berhimpit kami sekeluarga. Tenaga istri habis sudah untuk mengurus anak-anak yang memilik tingkat kenakalan ekstra. Sedang anak-anak, cuma bisa menyukai ayam-ayamnya. Mereka masih terlalu kecil untuk bekerja, tapi sudah terlalu berkuasa untuk main perintah kepada orang tuanya.

Akhirnya, ayam-ayam ini benar-benar menjadi persoalan serius. Tiga hari pertama, hewan-hewan kecil ini telah menjadi tiran yang sanggup memerintah kami semua. Di pagi hari kandang kecilnya harus dikeluarkan, kotorannya harus dibersihkan, makanannya harus disiapkan. Dasar ayam, dan masih anak-anak pula, jika malam dan kedinginan, mereka berciat-ciat sedemikian rupa. Yang berciat-ciat ayamnya, yang rewel anak-anak saya, karena si sulung harus gelisah tidurnya. ''Dimasukkan dalam kamar, diselimuti,'' pintanya!

Kami tentu melotot atas permintaan ini. Lebih melotot lagi ketika permintaan ini tidak boleh tidak harus dituruti. Jika tidak, ancamannya serius. Kami paham betul watak si sulung. Ia akan melawan dengan taktik yang merepotkan: tangis tertahan semalaman. Benar-benar celaka. Maka hingga saat ini, ayam-ayam itu telah pindah ke dalam, ke tempat terhormat dan hebatnya, anak-anak ayam itu menikmatinya. Anak saya dan ayamnya lalu tidur tenang bersama-sama. Ganti orang tuanya yang gelisah oleh kejengkelan.

''Ayam ini terlalu terhormat,'' kutuk saya di depan istri, ketika anak-anak telah tertidur. ''Kembali dikeluarkan saja,'' keputusan saya. Istri pasif saja. Tampaknya ia kesulitan bersikap. Di dalam, ayam itu memang menganggu, tapi di luar, ia pasti tak tega. Anak dan emaknya ini memang sama saja wataknya terhadap binatang, serba tidak tega. Tapi sikap mendua istri ini tetap sebuah modal untuk membulakan tekad: ayam itu harus dikeluarkan. Wah, lega rasanya, lepas dari tekanan ayam.

Tapi astaga, tak lama kemudian ayam-ayam celaka itu berciat-ciat lagi dengan marahnya. Saya dan istri kembali saling pandang membayangkan risiko yang saya takutkan dan risiko itu akhirnya datang juga: sulung terbangun untuk menengok ayamnya kembali. Ia luar biasa kecewa atas tindakan sepihak bapaknya ini. Dan sejak malam itu, ia berangkat tidur dengan ketakutan dikhianati orang tuanya. Karena takut dianggap pengkhianat, saya pun menyerah, menempatkan ayam-ayam itu kembali di tempat terhormat, hingga hari ini.

Kini ayam-ayam itu mulai membesar dan kasih sayang anak-anak kami terhadap mereka makin besar saja. Kami sekeluarga memang repot bukan main, tapi saya mulai tenteram karena ayam itu membuat saya bisa belajar ketulusan dari anak-anak saya, meskipun cuma kepada ayam.


-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone



Komentar

Postingan Populer