David Beckham, Gogon dan Kejujuran (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

Jika David Beckham adalah orang Indonesia, ia pasti akan berpikir ulang untuk bercukur model jambul Mohican, karena ia akan segera menjadi pesaing pelawak Gogon. Untung, di Inggris literatur komedian sama sekali telah berubah. Di negaranya, telah jarang -atau kalau malah tidak sudah lenyap sama sekali- pelawak yang melucu dengan mengobrak-abrik fisiknya, dengan dandanan serba aneh. Tapi di Indonesia, Beckham akan paham bahwa gayanya itu sama dan setara dengan gaya Gogon.


Yang berbeda cuma bahwa Gogon seorang pelawak dan Beckham bukan. Padahal "hanya" pelawak yang direstui masyarakatnya untuk bergaya aneh-aneh. Karena masyarakat maklum, masih ada sementara komedian yang masih menghubungkan kelucuan dengan keanehan. Itulah kenapa pelawak Indonesia hingga kini masih menyukai tempelan kumis model Chaplin. Lucu atau tidak, jika sudah berkumis Chaplin ia sudah boleh merasa sebagai pelawak. Jadi ada jenis komedian yang lebih bergantung pada kumis katimbang pada kualitas humor.

Tapi lepas dari itu semua, mari kita tegaskan lagi bahwa cuma pelawak yang punya "hak" memasuki wilayah yang sering disebut sebagai oddity itu, sebagai keganjilan. Maka jika ada pihak lain mencoba bergaya ganjil dan aneh, ia akan berisiko disebut sebagai pelawak. Tepatnya bukan disebut tapi diledek. Ledekan itu bisa bermuatan aneka tujuan. Ada yang merasa geli-geli saja, ada yang sinis, ada yang malah kasihan dan ada yang campuran dari semuanya.

Anehnya, pihak bukan pelawak yang meniru-niru tingkah pelawak itu marah sekali jika dianggap pelawak. Beckham pun belum tentu siap hati jika harus disejajarkan dengan Gogon. Penceramah, seminaris, pengkotbah, politisi yang lucu-lucu itu bisa sangat tersinggung jika disamakan dengan pelawak. Dari sini terlihat, bertapa profesi pelawak masih mereka anggap rendah, masih belum cukup berharga untuk berdiri sejajar.

Tapi walau dianggap remeh, kelebihan mereka itu ternyata sering ditiru dan dimanfaatkan tanpa para peniru itu mau mengaku. Ibarat penulis yang mengutip pernyataan tapi malu menyebut sumber. Ibarat seorang yang gemar berselingkuh tapi menolak disebut tunasusila. Ibarat pedagang yang ingin dagangannya laku tapi menolak disebut berjualan. Dari sini baru terlihat, betapa rendah hati para pelawak itu. Betapa mereka lebih terbuka dalam memperagakan kejujuran.

Sungguh tidak gampang memutuskan menjadi seorang Gogon. Sungguh tidak mudah memelontos rambut, menyisakan cuma jambulnya, yang sebelum menjadi tambang rezeki, model itu pasti berisiko menjadi sumber tertawaan. Pelawak melucu langsung dari sumbernya. Jika sumber itu berupa keharusan membotaki kepala, memonyongkan bibir dan berdandan bak orang gila, pelawak akan melakukannya. Mereka tidak takut menjadi jelek, diledek dan diremehkan. Pelawak mengatakan ambisi ingin laris, ingin terkenal dan banyak rezeki secara terbuka.

Sementara banyak pihak bertujuan serupa, ingin laris, terkenal, lucu dan mendapat banyak tepuk tangan, tapi menolak berterus terang. Memang selalu ada saja pihak yang membungkus keinginan dengan kemasan yang tampak mulia tapi sesungguhnya mereka tak lebih berbobot dibanding manusia kebanyakan seperti kita.

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone



Komentar

Postingan Populer