Tradisi Budaya Ketika Pernikahan di Suku Badui
Tradisi pernikahan di Suku Badui (baik Badui Dalam maupun Badui Luar) sangat memegang teguh adat istiadat yang sederhana namun sakral. Berdasarkan tatanan budaya yang masih terjaga hingga tahun 2025, pernikahan di Suku Badui tidak hanya mengikat dua orang, tetapi juga dua keluarga besar di bawah aturan Pikukuh Adat.
Berikut adalah tahapan dan keunikan tradisi pernikahan Suku Badui:
1. Proses Perjodohan dan Lamaran
- Perjodohan: Sebagian besar pernikahan di Badui masih didasarkan pada perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dengan persetujuan pemuka adat (Puun).
- Bobosokan: Proses lamaran di mana keluarga pria mendatangi keluarga wanita untuk menanyakan kesediaan sang gadis.
- Seserahan Khusus: Pihak pria membawa perlengkapan rumah tangga, hasil bumi, kain tenun khas Badui, serta senjata tajam (golok) sebagai simbol perlindungan dan kesiapan membangun rumah tangga.
2. Rangkaian Upacara Adat
- Upacara Mapag Penganten: Ritual penjemputan pengantin yang dipimpin oleh pemuka adat.
- Ijab Kabul Versi Adat: Dilakukan di depan Puun (pemimpin adat) atau wakilnya. Pengantin akan mengucap janji setia dalam bahasa Sunda Wiwitan yang sakral.
- Sungkeman: Kedua mempelai memberikan penghormatan kepada orang tua dan sesepuh adat untuk memohon restu (doa) agar pernikahan mereka langgeng.
3. Aturan Unik Pernikahan Badui
- Monogami Mutlak: Suku Badui sangat melarang poligami. Seseorang hanya boleh memiliki satu istri seumur hidup.
- Larangan Perceraian: Dalam adat Badui, perceraian adalah hal yang sangat tabu dan dilarang keras, kecuali salah satu pasangan meninggal dunia.
- Pernikahan Antar-Kelompok: Jika warga Badui Dalam menikah dengan warga Badui Luar, maka mereka biasanya harus keluar dari wilayah Badui Dalam dan menetap di Badui Luar sebagai konsekuensi adat.
4. Pakaian dan Hidangan
- Pakaian Sederhana: Mempelai menggunakan pakaian adat khas Badui (putih untuk Badui Dalam, hitam/biru tua untuk Badui Luar) tanpa riasan yang mencolok.
- Jamuan Tradisional: Hidangan yang disajikan berasal dari hasil alam sekitar, seperti nasi merah, sayuran hutan, dan olahan ikan sungai, yang disajikan secara komunal sebagai bentuk gotong royong.
5. Masa "Nganjang"
Setelah pernikahan, ada masa di mana pengantin pria tinggal di rumah mertua selama beberapa waktu (biasanya beberapa bulan) untuk membantu pekerjaan mertua sebelum akhirnya membangun rumah sendiri di lingkungan tersebut.
Bagi Anda yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai kebudayaan suku di Indonesia, portal Kebudayaan Kemendikbud menyediakan literatur lengkap mengenai pelestarian adat Badui di tahun 2025.
Komentar