Fikih Kapitayan
Kapitayan adalah sistem kepercayaan monoteistik kuno di Jawa yang telah ada jauh sebelum masuknya agama Hindu, Buddha, dan Islam ke Nusantara. Istilah "fikih" dalam konteks Kapitayan merujuk pada aturan perilaku dan tata cara ibadah (syariat lokal) yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Berikut adalah poin utama mengenai ajaran dan praktik Kapitayan:
1. Konsep Ketuhanan (Tauhid)
- Sang Hyang Taya: Tuhan yang mutlak dan abstrak, tidak dapat dibayangkan, dipikirkan, atau dideteksi dengan panca indra (tan keno kinaya ngapa).
- Makna "Taya": Berarti "kosong" atau suwung, namun merupakan sumber dari segala yang ada.
- Manifestasi "Tu/To": Kekuatan Tuhan dipercaya tersembunyi dalam benda-benda yang memiliki suku kata "Tu" atau "To", seperti watu (batu), tugu, tuk (mata air), dan tumbak (tombak).
2. Tata Cara Ibadah (Sembahyang)
Praktik ibadah Kapitayan memiliki kemiripan fisik dengan gerakan salat dalam Islam, yang meliputi empat tahap utama:
- Tulajek: Berdiri tegak (seperti posisi berdiri dalam salat).
- Tungkul: Membungkuk sambil menatap tanah (mirip rukuk).
- Tondem: Sujud dengan posisi tubuh seperti janin di rahim.
- Tulungkup: Duduk bersimpuh (mirip duduk di antara dua sujud).
3. Aturan Perilaku (Etika)
Kapitayan mengatur adab harian yang mencerminkan nilai luhur:
- Puasa (Upawasa): Mengenal Pasabrata atau tidak makan dari pagi hingga malam, serta Poso Dino Pitu (puasa dua hari yang dianggap setara tujuh hari).
- Etika Sosial: Larangan memberikan sesuatu dengan tangan kiri (dianggap penghinaan) dan aturan masuk tempat tertentu (seperti kamar mandi) dengan kaki kiri terlebih dahulu.
- Sesajen: Menggunakan persembahan yang mengandung unsur "Tu", seperti tumpeng, tumpi (kue tepung), dan tumbu (keranjang bunga).
4. Akulturasi dengan Islam
Tokoh legendaris seperti Dang Hyang Semar dianggap sebagai pembawa ajaran ini. Saat Islam masuk, para Wali Songo menggunakan pendekatan sinkretisme budaya dengan mengadopsi istilah dan praktik lokal Kapitayan (seperti penggunaan istilah "Sembahyang" dan "Sanggar/Langgar") untuk mempermudah penerimaan ajaran Islam di kalangan masyarakat Jawa.

Komentar