Ciuman Salah Waktu (Merenung Sampai Mati - Pri GS)

JIKA Anda orang tua, risiko ini akan dekat dengan Anda, karena contoh ini saya pungut dari pelaku yang sebenarnya. Pertama ketika secara tanpa dosa, anak Anda mengorek-orek dinding mobil dengan benda tajam, padahal mobil itu baru dan kreditan pula. Jika ini terjadi, hati-hati, penyakit kalap bisa menyerang Anda.


Tak peduli betapa pun polos anak Anda, tak peduli bahwa ia sesungguhnya tidak bermaksud merusak mobil keluarga, melainkan merasa cuma sedang menggambar, melukis dengan hati gembira di sebuah kanvas yang menurutnya adalah ruang yang bebas terbuka. Tak tebersit di dalam benak anak itu merusak sebuah mobil, apalagi mobil baru, apalagi mobil milik bapaknya, apalagi belum lunas pula.

Tapi semua ini tak cukup kuat untuk menahan sikap kalap orang tua yang tengah terluka itu. Karena luka di mobil itu setara dengan luka di hati kita, yang bekerja keras sedemikan rupa untuk bisa membeli barang kesayangan dan belum genap kegembiraan ini berjalan sempurna telah diorek-orek pula. Maka tak peduli anak sendiri, anak kesayangan pula, luka di mobil itu adalah dorongan yang gegap gempita untuk minimal membentak sang anak dengan teriakan termarah yang kita punya.

Maka anak yang sedang bergembira akan segera melotot matanya oleh perasaan kaget luar biasa. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar untuk kemudian surut ke belakang dengan sikap gemetaran. Sebuah rasa takut yang bukan cuma datang tiba-tiba, tetapi ketakutan yang sungguh tak ia sangka-sangka. Ingatlah kenakalan masa kecil Anda, dan ingatlah sebuah rasa takut akibat kemarahan sekitar yang timbul karenanya. Kita begitu takut karena sama sekali tak pernah menduga bahwa yang kita lakukan adalah sebuah kekeliruan. Kita menyangka semua itu tak lebih dari kegembiraan bagi akal kita yang masih cekak dan terbatas.

Saya pernah menyimpan sebuah pengalaman dahsyat di usia prasekolah, yang karena jasa kakak-kakak, saya telah bisa membaca. Sebuah keberuntungan? Bisa jadi. Tetapi bahaya segera menyelinap di baliknya. Seorang remaja kampung, ia telah remaja, seorang berandal muda mestinya, tetapi memilik kenakalan yang cerdas, karenanya amat berbahaya. Ia semula memuji kemampuan saya dan saya senang atas pujiannya. Selanjutnya ia menoreh di tanah berdebu tiga huruf besar-besar dan saya diminta membacanya keras-keras.

Didorong keinginan unjuk kebolehan, saya dengan gembira melakukannya. Saya baca huruf itu dengan teriakan yang memenuhi sekujur desa. Apa yang terjadi, selepas saya berteriak, anak itu lari meninggalkan saya sendiri yang kemudian didatangi banyak orang, di antararnya adalah orang-orang tua. Orang-orang ini mengabarkan kepada saya sebuah berita yang mencekam, bahwa saya bisa masuk penjara karenanya. Kenapa? Karena tiga huruf yang saya teriakkan keras-keras itu adalah nama sebuah partai terlarang, yang di saat itu, cuma karena menyebut namanya saja sudah berarti bencana. Saya masih mengingat betapa seperti lenyap tulang belulang saya. Hari berikutnya badan saya demam oleh pukulan batin yang teramat sangat.

Ya, anak-anak itu, termasuk penggores pintu mobil itu, atau seluruh kenakalan anak-anak kita, bisa jadi tak lebih dari sebuah kegembiraan baginya. Tetapi siapa peduli kegembiraan anak jika korbannya adalah barang-barang yang tengah begitu menyedot seluruh konsentrasi kita. Maka kepada anak yang tengah kita anggap berdosa ini kadang tak cukup hanya diganjar dengan bentakan.

Kadang itu perlu tamparan di pantat, jeweran di telinga atau malah tempelengan di kepala. Begitu kalapnya sehingga ketika sadar kita cuma bisa terpana. Padahal tak mudah meminta maaf kepada anak karena tak sedikit dari kita adalah para orang tua yang jaim dan tak biasa melakuan permintaan maaf secara terbuka. Maka yang bisa kita lalukan hanyalah menangis diam-diam. Memandangi si anak ketika ia telah lelap tertidur dan menciuminya dengan segenap perasaan remuk redam. Saya percaya kualitas tangisan penyesalan seperti ini, karena tak ada dari kita yang tidak mencintai anak-anak kita.

Tetapi tidakkah ciuman semacam itu menjadi sesuatu yang nyaris percuma, karena sementara kita mencium, anak itu sudah begitu terlelapnya. Ketika hati kita tengah porak-poranda, anak itu sama sekali tak menangkapnya, karena penyesalan itu, ciuman itu, datang di waktu yang keliru, ketika anak sama sekali tak pernah mengetahuinya.

-------------------------
Informasi, saran, kritik, Hubungi segera : 

WA: 0811 3010 123

sms:08113010123?body=halo
Telp/SMS : 0811 3010 123

*tombol hanya berfungsi jika anda mengakses web ini via Smartphone

Komentar

Postingan Populer