Orang kok bisa secanggih itu ya.... (bag.1)

 


Pernahkah merasa bersalah karena punya terlalu banyak minat? Hari ini rasanya ingin mendalami Ai, besok tiba-tiba penasaran setengah mati dengan cara menanam hidroponik, lalu lusa malah asyik membaca buku filsafat, sosial-budaya dan politik.

Di dunia yang sering menuntut kita untuk "fokus pada satu bidang saja", menjadi seseorang yang serba ingin tahu sering kali dianggap sebagai kelemahan. Kita dilabeli tidak konsisten, tidak fokus, atau yang paling sering kita dengar: "Jack of all trades, master of none" (bisa segalanya, tapi tidak ahli apa-apa).

Di penghujung tahun 2025 ini, ketika kecerdasan buatan (Ai) sudah bisa mengerjakan tugas-tugas spesifik dengan presisi tinggi mulai dari menggambar ilustrasi, programming hingga mendiagnosa penyakit, apa yang tersisa untuk manusia?

Jawabannya mungkin terutama ada pada kemampuan untuk tidak menjadi spesifik. Peradaban manusia justru sering kali dimajukan dan dikembangkan oleh mereka yang menolak dikotak-kotakkan. Mereka adalah para generalis, sang "penghubung titik-titik". Mari kita telusuri jejak mereka, dari masa lalu hingga hari ini.

Era Klasik: Ketika Seni dan Sains Masih Satu Atap

Dulu, orang tidak memisahkan antara ilmuwan dan seniman. Keduanya adalah pencari kebenaran. Lihatlah Leonardo da Vinci. Dunia mengenalnya lewat senyum misterius Mona Lisa. Tapi, tahu gak klo Leonardo tidak melukis hanya dengan "perasaan"? Dia membedah mayat manusia untuk memahami anatomi otot wajah. Dia mempelajari matematika untuk mendapatkan proporsi yang pas. Mona Lisa adalah hasil kawin silang antara seni rupa dan ilmu kedokteran. Leonardo adalah bukti bahwa inovasi lahir ketika kita tidak membatasi rasa ingin tahu.

Di tanah air, kita punya Raden Saleh. Kita mengenalnya sebagai pelukis legendaris. Namun, Raden Saleh sejatinya adalah manusia Renaissance versi Jawa. Dia bukan cuma melukis penangkapan Pangeran Diponegoro; dia juga seorang penjelajah dan ilmuwan amatir yang menekuni paleontologi (ilmu fosil). Dia menyerap teknik Eropa tapi tetap berakar pada jiwanya sebagai orang Jawa. Kemampuannya beradaptasi dan menyerap berbagai ilmu inilah yang membuat karyanya abadi.

(bersambung)

Komentar

Postingan Populer