Orang kok bisa secanggih itu ya.... (bag.3)
Indonesia punya B.J. Habibie.
Seringkali kita mengerdilkan sosoknya hanya sebagai "insinyur pesawat jenius". Padahal, Habibie adalah seorang filsuf yang menyamar jadi teknokrat. Konsepnya tentang penyatuan Iptek (Ilmu Pengetahuan & Teknologi) dan Imtak (Iman & Taqwa) adalah pemikiran tingkat tinggi tentang keseimbangan peradaban. Dia melihat pesawat bukan sekadar mesin terbang, tapi sebagai alat sosiologis untuk mempersatukan negara kepulauan. Hanya seorang generalis yang bisa melihat "besi terbang" sebagai "alat pemersatu bangsa".
Lebih jauh lagi, sisi romantis Habibie adalah bukti lain dari jiwanya yang melampaui sekat-sekat kaku. Ketika Ibu Ainun berpulang, Habibie tidak lari ke rumus aerodinamika untuk mencari penghiburan. Ia justru lari ke puisi dan filsafat cinta. Ia menulis buku yang begitu puitis dan emosional.
Ini menunjukkan bahwa seorang ilmuwan kelas dunia sekalipun membutuhkan 'katup' seni untuk mengekspresikan kemanusiaannya. Bagi Habibie, fisika menjelaskan bagaimana dunia bekerja, tapi cinta dan sastra menjelaskan untuk apa kita ada di dunia
Era Ai: Sang Penafsir Masa Depan
Di tahun 2025 ini, tantangan kita makin kompleks. Perubahan iklim yang bertautan dengan krisis lingkungan alam, disrupsi Ai, hingga krisis mental. Masalah kompleks tidak bisa diselesaikan dengan satu kacamata saja.
Di panggung dunia, kita melihat sosok Yuval Noah Harari. Awalnya dia hanya seorang sejarawan abad pertengahan. Tapi lihat buku-bukunya sekarang (Sapiens, Homo Deus, Neksus). Harari berbicara tentang biologi evolusi, algoritma komputer, hingga masa depan Ai dan manusia. Mengapa tulisannya begitu relevan? Karena dia menghubungkan sejarah masa lalu dengan kecemasan kita akan masa depan. Dia tidak terkungkung di perpustakaan sejarah, dia belajar sains untuk menafsirkan ke mana arah peradaban umat manusia.
Menariknya, kejernihan Harari dalam melihat benang merah peradaban ini tidak didapatnya dari tumpukan data semata, melainkan dari keheningan. Harari adalah praktisi meditasi Vipassana yang tekun; ia bermeditasi dua jam setiap hari dan menyepi total setiap tahun. Di tengah bisingnya informasi abad 21, kemampuan untuk diam dan mengamati pikiran inilah 'senjata rahasia' seorang generalis. Ia tidak hanyut dalam arus data, tapi duduk di tepian untuk melihat ke mana sungai sejarah mengalir
Di Indonesia, kita punya Dee Lestari. Bagi pembaca novel, Dee adalah fenomena. Dia membuktikan bahwa fiksi bisa menjadi wadah sains yang seksi. Risetnya untuk novel Supernova hingga Aroma Karsa sangatlah "gila", mulai dari fisika kuantum, mikologi (dunia jamur), botani, hingga filsafat spiritual. Dee tidak membiarkan dirinya hanya menjadi "penulis galau". Dia adalah generalis yang merajut data ilmiah yang kaku menjadi cerita yang menggerakkan hati. Dia menunjukkan bahwa rasa ingin tahu yang luas adalah bahan bakar kreativitas terbaik.
Jangan lupa juga bahwa sebelum dikenal sebagai penulis, Dee adalah seorang musisi dan penyanyi. Latar belakang ini mungkin terdengar tidak relevan dengan dunia literasi, tapi justru itulah kuncinya. Musik mengajarkannya tentang ritme, tempo, dan harmoni, elemen-elemen yang kemudian ia terapkan dalam kalimat-kalimat di novelnya. Tulisan Dee terasa mengalir dan berirama karena ia menulis dengan telinga seorang musisi. Ia membuktikan bahwa tidak ada ilmu masa lalu yang sia-sia, semuanya akan terpakai dalam bentuk yang baru.
(bersambung)

Komentar