Bisakah Indonesia Bebas dari Sampah 2029? (bag.2)
Kita punya dokumen perencanaan yang rapi, tetapi di tingkat rumah tangga, pemilahan sampah masih terasa merepotkan. Jujur saja, saya pun tidak selalu konsisten.
Kadang masih tergoda membuang semuanya ke satu kantong, lalu merasa "tugas sudah selesai".
TPA yang menggunung itu, kalau dipikir-pikir, adalah cermin dari perilaku kolektif kita.
Banyak TPA masih menggunakan sistem open dumping, di mana sampah hanya ditumpuk tanpa pengolahan memadai.
Ketika hujan turun, air lindi mengalir ke tanah dan sungai.
Ketika panas menyengat, bau menyebar ke mana-mana. Namun anehnya, semua itu sering kita anggap sebagai hal yang "wajar".
Sampah plastik menambah kompleksitas masalah.
Meskipun secara persentase tidak sebesar sampah organik, dampaknya jauh lebih panjang.
Plastik tidak mudah terurai. Ia bertahan puluhan bahkan ratusan tahun, lalu berubah menjadi mikroplastik yang akhirnya kembali ke tubuh manusia.
Saya sering bertanya-tanya, berapa banyak plastik sekali pakai yang sudah saya gunakan tanpa benar-benar memikirkan akhirnya ke mana?
Di titik ini, wajar jika banyak orang skeptis.
Target Indonesia bebas sampah 2029 terdengar indah, tetapi terasa jauh. Infrastruktur pengelolaan sampah belum merata, kapasitas pemerintah daerah berbeda-beda, dan perubahan perilaku masyarakat berjalan lambat.
Kita masih sering berpikir bahwa sampah adalah urusan petugas kebersihan, bukan urusan pribadi.
Namun, saya juga percaya bahwa mimpi besar tetap penting. Tanpa mimpi, kita tidak punya arah. Yang menjadi soal adalah bagaimana mimpi itu diterjemahkan menjadi langkah nyata.
Bagi saya, kuncinya ada pada perubahan dari hulu. Mengurangi sampah makanan adalah langkah paling masuk akal.

Komentar